Senin, 04 Februari 2013

ANALISIS PEMERINTAHAN SAYYID ALI BIN ABI THOLIB : 3

2. Perang Siffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong.[37] Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala
datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan –bukan menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.[38]
Telah disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.[39]
Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang dating ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.[40]
Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat  Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang –katanya- dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.[41] Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka.
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah[42] [Abu Bakar], saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.[43]
Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang.
Ali sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.[44]
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.  Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar.[45] Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.[46]
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi.  Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung.[47]
Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angina. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
Menarik untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy’ats bin Qais al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim.[48] Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena ingin mensucikan Ali  dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah.[49]
Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[50] Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.[51]
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat di hadapannya.[52]




2. Gerakan kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.[53]
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”[54]
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka  tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan, Abdurahman bin Mulzam.[55]
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.
Ali mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.[56]
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah  dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.[57] Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga”.[58]
V. Kesimpulan dan Penutup
Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zuber ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah.
Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif  agar tidak menimpa kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar