Senin, 04 Februari 2013

ANALISIS PEMERINTAHAN SAYYID ALI BIN ABI THOLIB : 2

Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.

1. Perang Jamal
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman.[7] Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.[8] Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah.[9] Data tersebut memberikan informasi pada kita, bahwa Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.[10] Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman.
Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran kepada kita, bahwa penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah penuntasan hokum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.[11] Dengan redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa;
“Setelah Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.”[12]
Hal senada diungkapkan Hery Sucipto. Tanpa menyantumkan rujukannya, di dalam bukunya dia menyebutkan;
“Namun, tak berapa lama dari menunaikan rukun Islam kelima itu, dia  [Aisyah] mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya yang berhak mengganti [khalifah Utsman] adalah kakak iparnya, Thalhah bin Ubaidillah.”[13]
Ensiklopedi Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah.[14]
Hipotesa beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan Asma' Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari Lc, Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut `Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali.[15] Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Usman.[16] Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan dating. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang akan datang bisa sering terjadi.
Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam bukunya dia menyatakan;
“Ada faktor lain yang lebih penting dari itu [tuntutan qishash], diantaranya; (1) Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki. (2) Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu Bakar…(3) Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri…[17]
Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan sebauh hadits yang menceritakan situasi Rasulullah saat sakit. Kala itu, Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu Abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.[18]
Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda; “Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pastia ia (Ammar) memilih yang paling bijaksana diantara keduanya”[19] Dalam hadits kedua ini, tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan dia tidak memperdulikannya (membelanya).
Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.[20]
Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali dikalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan imam Al Zuhri, tokoh hadits dari generasi tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al Quran surat Annur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut memfitnahnya.[21]
Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan nama Ali dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al Jâmiush Shahîh Al Bukhari (Kitab Al Wudhu’, no. hadits 191) tanpa ada tambahan perkataan Ibnu Abbas, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”. Tambahan perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah benci dan dendam terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan pada riwayat hadits di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam Shahîh-nya melainkan mencukupkan dengan kata-kata Ibnu Abbas, “Laki-laki yang seorang lagi itu adalah Ali”. Kemungkinan tambahan perkataan, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya (yakni kepada Ali)”, adalah dari periwayatan Ma’mar bin Râsyid, seorang rawi yang terdapat pada sanad Imam Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al Asqalani mencurigai hadits Ma’mar yang diriwayatkannya di Bashrah.[i] Inilah sebabnya Imam Al Bukhari dalam kasus ini tidak mengambil jalur riwayat dari Ma’mar melainkan dari Syu’aib bin Abi Hamzah, orang yang paling kuat riwayatnya dari Az Zuhri.[22]
Adapun mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang yang mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan kesahihannya mengingat pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit yang meriwayatkan dari Atha’ bin Yasâr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan tsabit oleh sebagian ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dîl, namun menurut Ibnu Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari Atha’ tidak terpelihara. Dan menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha’ bin Yasâr tidak ada mutâbi’nya. Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasannya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada Musnad-nya no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud.[23]
Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah. Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya dihadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka berdua, kecemburuan Aisyahpun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali.[24]
Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah.  adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.[25]
Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.[26]
Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan;
“Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan  keburukan atas kalian. Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana yang kalian inginkan.[27]
Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash.. Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hokum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasati, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya dating dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda.  Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.[28]
Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperanganpun tidak bisa dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.[29] Padahal saat itu, Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali.[30] Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut Joesoef Souyb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya.[31] Banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan.
Perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zuberi merupakan fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu kita ketahui juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi satu-satunya? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan?
Analisa yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebut bahwa sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui surat-menyurat.untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis, pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan negosiasi selama tiga hari untuk mencari jalan damai.  Upaya tersebut sebenarnya berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya.[32]
Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai. Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman baik itu yang dating dari Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampong halaman masing-masing.
Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar al-Nakha’I dan Syuraih bin Aufa. Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana damai itu harus digagalkan.  Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan menjadi korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan Aisyah, Thalhah dan Zuber kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damianya pihak Ali dan Aisyah berarti kematian bagi mereka.[33] Sebagian ahli sejarah berkeyakinan bahwa orang-orang diatas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah.
Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan.[34] Posisi Aisyah saat itu adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat itu menghadapi pemerintahan bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat itu dipimpin oleh gubernur Usman bin Hunaif.  Terjadi pertempuran terlebih dahulu antara pihak Aisyah dengan pihak Usman bin Hunaif. Karena Aisyah menginginkan perdamaian, akhirnya disepakati untuk gencatan senjata. Gencatan itu sendiri salah satu isinya adalah mengakui Usman bin Hunaif sebagai gubernur Basrah berikut bait al-Maal dan gudang senajatanya. Sementara bagi pihak Aisyah, mereka dibolehkan tinggal di mana saja di Basrah. Sambil menunggu Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Basrah dan penduduknya dalam keadaan tenang, aktifitas pemerintahan dan praktek keagamaan dapat dilaksanakan seperti hari-hari biasa.[35]
Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak senang dengan keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk mengacaukan keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif selepas shalat Isya. Mereka juga menyerbu Bait al-Maal dan membunuh para penjaganya. Ketika hal tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan perlawanan dengan Hakim bin Jabalah. Orang ini kemudian mati bersama tujuh puluh pengikutnya dalam pertempuran dengan Thalhah dan rombongannya.[36]
Jika kita teliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah ini semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat scenario besar dibalik kegagalan perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif, menyerbu bait al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu merupakan asset pemerintahan Ali bin Thalib. Namun, Hakim bin Jabalah mati di tangan Thalhah dan kelompoknya. Menurut kami, hal ini menunjukkan bahwa Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba itu, melakukan profokator, mengadu domba pihak Ali dengan cara menculik dan membunuh Usman bin Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali mempunyai firasat bahwa pelaku penculikan itu adalah pihak Aisyah. Di sisi lain, Hakim bin Jabalah juga melakukan pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi Thalhah yang saat itu memang sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan besar juga berpikir bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan, melakukan penyerangan dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya. Walhasil, kecurigaan dan akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak bisa dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar